
Tribute Indonesia – Pakar Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Radhy menilai, bahwa kebijakan Pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax sudah tepat.
Menurut Fahmi, Pertamax merupakan bahan bakar yang banyak dipergunakan oleh kalangan masyarakat kelas atas. Sehingga, menurut Fahmi, untuk harga Pertamax memang sudah seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
“Kenaikan Pertamax wajar. Pertamax jenis BBM ditentukan harga mekanisme pasar,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ‘Krisis Rusia-Ukraina, Mahalnya Minyak Dunia’ yang digelar Jakarta Journalist Center, Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Fahmi menilai, Indonesia terpengaruh harga kenaikan minyak karena menjadi salah satu negara pengimpor minyak. Sehingga, menurut Fahmi, berat jika harus selalu mempertahankan harga subsidi.
Untuk Pertamax, Fahmi menyampaikan, memang harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Lagipula, menurut Fahmi, kenaikan harga Pertamax menjadi Rp12.500 masih dalam batas wajar.
“Saya harap Pertamina, pemerintah memberlakukan Pertamax menentukan harga pasar. Tidak boleh intervensi,” ungkapnya.
Namun kendati demikian, Fahmi pun meminta pemerintah tetap memberikan subsidi BBM jenis Pertalite di tengah lonjakan harga minyak dunia.
Menurut Fahmi, subsidi Pertalite tetap diperlukan untuk mencegah gejolak di masyarakat.
“Kenaikan harga barang orang miskin semakin miskin. Akan terdampak. Jangan dinaikkan dalam waktu dekat ini. Saya khawatir kenaikan BBM itu bisa naik harga kebutuhan pokok,” katanya.
Sebab, lanjut Fahmi, jika Pertalite naik, maka dikhawatirkan harga bahan pokok akan naik.
“Pertalite naik maka sudah pasti akan dipicu inflasi. Saat inflasi maka harga kebutuhan pokok naik dan harga beli rakyat kembali terpuruk. Dalam waktu ini jangan dinaikkan Pertalite atau gas 3 kg,” ujarnya.
Selain Fahmi, hadir juga dalam diskusi itu Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan, Praktisi yang juga mantan Pejabat SKK Migas Elan Biantoro dan Direktur Global Economi Politic Institute Ronald Loblobly.