Tribute Indonesia – Apa yang bisa saya tuliskan lebih awal, setelah selesai menonton film dokumenter Over the Limit (2017) dan berdiskusi bersama In Docs pada program School of Seeing 2021, ialah bahwa kerja keras akan berbanding lurus dengan keberhasilan.
Pernyataan ini setidaknya menyiratkan adagium lama yakni persiapan yang matang tidak akan mengkhianati hasil; dan impresi ini secara umum dapat ditemukan pada adegan-adegan yang diperankan oleh tokoh utama, Margarita Mamun (Rita).
Film karya Marta Prus ini bercerita tentang kehidupan Rita, atlet senam ritmik asal Rusia. Dalam karyanya, sang sutradara mencoba menyajikan perjuangan seorang atlet melawan batas kemampuan manusia normal. Kisahnya pun mengajak para penonton untuk menyaksikan rangkaian narasi tentang apa arti kerja keras, komitmen, daya juang dan bagaimana seorang atlet mesti berkompetisi di sebuah pertandingan.
Akhir ceritanya bermuara pada suguhan buah manis yakni Rita meraih medali emas Olimpiade 2016 di Brazil. Ia mengalahkan sang juara dunia sekaligus rivalitas se-negara, Yana Kudryavtseva.
Apa yang saya sampaikan di atas merupakan pengalaman pembuka. Pengalaman ini pun saya rasakan dengan mempertimbangkan apa yang disampaikan oleh Bill Nichols, Introduction to Documentary (2001). Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa menonton film yang dilakukan sekali, dua kali atau lebih akan berbeda sensasi dan pengalamannya.
Penonton yang menyaksikan film hanya sekali akan bertanya pada dirinya tentang apa yang ditonton. Pengalaman menonton ini terbatas pada apa yang ditangkap oleh mata.
Apabila penonton menyaksikan film superhero, maka ia akan merasakan pengalaman tentang bagaimana superhero bisa mengalahkan musuh-musuhnya. Ia pun akan disuguhkan, misalnya, adegan-adegan super power yang jadi ciri khas setiap film superhero.
Secara singkat, penonton merasa immersed pada film tertentu. Pengalaman ini akan memberikan kesan tentang ketakjuban, keseruan, keterpesonaan atau apapun yang senada dengannya. Kenyataan ini biasanya ada dan terjadi pada film yang mengangkat aspek-aspek imajinatif.
Selanjutnya, Nichols menambahkan bahwa penonton yang menyaksikan film lebih dari sekali akan lebih terlibat. Pada kondisi ini, ia tidak hanya akan bertanya apa yang ditonton, tetapi juga memikirkan apa yang dialaminya, kenapa pembuat film menciptakan karya tertentu, muatan ideologis apa yang dikandung dalam film, bagaimana film tertentu diapresiasi oleh penonton dan seterusnya.
Beberapa pertanyaan itu mengindikasikan keterlibatan penonton dengan film secara lebih lanjut. Dalam ulasan ini, saya hanya mengambil sejumlah pengalaman yang dijadikan titik penekanan sang sutradara. Pengalaman-pengalaman ini pun saya dapatkan berdasarkan pada adegan dan dialog yang ada pada film.
Dalam Over the Limit, sang sutradara mencoba menggambarkan Rita secara lebih personal. Meskipun ia adalah seorang atlet dan hidup berdasarkan aturan yang kaku dan ketat, ia adalah seorang manusia biasa. Ia masih menginginkan waktu rehat untuk rekreasi ke pantai, menelepon sang pacar melalui aplikasi skype, bertemu keluarga dan teman-teman guna merayakan ulang tahun.
Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan ini memperlihatkan bahwa Rita tetap membutuhkan aspek-aspek sosiologis. Dan hal ini ia perlukan sebagai penyegaran psikologis guna menghadapi tantangan yang diberikan oleh sang pelatih, Irina Viner.
Kisah lain yang menarik untuk diulas ialah religiusitas seorang Rita. Penonton akan mendapatkan kenyataan ini pada saat Rita menghadapi setiap pertandingan. Ia selalu dengan lantang mempekikkan God help me sebagai sandaran akhir. Pada kondisi ini, kepercayaan pada Tuhan menjadi penguat diri dalam menghadapi setiap perlombaan.
Kenyataan ini pun membenarkan apa yang disampaikan oleh sosiolog Prancis, Emile Durkheim (1915), bahwa fungsi “kekuatan besar” menjadi penguat dan penolong penganutnya. Dalam kasus Rita, ia berkeyakinan bahwa ia mampu meraih impian dengan pertolongan Tuhan. Hal ini pun menegaskan bahwa Rita membutuhkan spirit yang bisa memberikan kekuatan alternatif layaknya dukungan moral keluarga, pasangan, dan pertemanan.
Apa yang bisa dijadikan bahan obrolan lain ialah bagaimana representasi Rusia memperlakukan setiap atletnya. Ada yang menilai bahwa treatment yang dilakukan oleh Rusia pada atletnya, melalui film Over the Limit, tidak mencerminkan sisi-sisi humanis.
Sang pelatih menganggap bahwa apa yang diberikan oleh Rita dalam setiap sesi latihan tidaklah maksimal, bahkan cenderung tidak memahami filosofi dasar olahraga senam ritmik. Rita pun dinilai tidak mengetahui gerakan-gerakan dasar yang bisa dijadikan poin penilaian pada setiap pertandingan.
Sebagian lagi menganggap bahwa perlakuan pelatih terhadap Rita dalam dunia olahraga ialah hal biasa dan lumrah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sikap yang mesti ada dalam diri seorang atlet. Ia haruslah merasa memiliki daya juang yang lebih dibandingkan manusia normal. Dalam birokrasi perlombaan klasik, mekanisme yang diterapkan kepada para atlet mesti bersandar pada garis instruksional (top-down), bukan musyawarah untuk mufakat.
Secara sederhana, kedua penilaian di atas mencitrakan keragaman apresiasi penonton. Apresiasi-apresiasi ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang penonton dalam menafsirkan suatu film, dalam kalimat Frank Stella, seorang seniman Amerika, apa yang anda lihat adalah apa yang anda lihat (ce que vous voyez est ce que vous voyez).
Relativitas pada setiap pemaknaan yang ditafsirkan berkait kelidan dengan sosial, budaya, politik, yang dimiliki setiap penonton. Dalam Over the Limit, latar belakang penonton menjadi penentu makna sebuah film.
Hal lain yang unik ialah tayangan sesi wawancara bersama para wartawan setelah kejuaraan dunia di Stuttgart, Jerman. Rita dan Yana mengatakan bahwa apa yang mereka persembahkan dalam setiap pertandingan itu ialah untuk Negara Rusia.
Sebagai penonton, pernyataan ini bisa dimaknai sebagai penanaman sikap patriot yang mesti ada pada setiap atlet. Rusia berusaha menyisipkan sikap bela Negara kepada setiap warganya melalui film Over the Limit.
Sebagai medium populer, film merupakan alat yang bisa mempengaruhi orang dengan mudah. Ia pun dapat digunakan, misalnya, sebagai corong segala jenis isme, nasionalisme, komunisme, fundamentalisme, skeptisisme dan lain-lain. Dalam konteks film yang diperankan Rita, Rusia mencoba menanamkan sikap patriotisme pada setiap warganya untuk membela Negara.
Lebih lanjut lagi, tayangan kehidupan keluarga Rita pun tak luput dari sorotan Marta Prus. Ia sengaja menampilkan area privasi ini sebagai tanda dan status sosial darimana Rita berasal. Rita dan keluarganya dicitrakan tidak terlahir dari keturunan elite. Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana. Di sana, penonton hanya akan melihat rangkaian piala yang terpampang di setiap sudut rumah.
Pada situasi ini, penonton akan menganggap bahwa Rita adalah seorang individu biasa yang bekerja sebagai atlet. Ia mendedikasikan hidupnya hanya untuk menjadi atlet sungguhan. Hal demikian tercermin dengan pencapaian yang telah ia raih sebagai prestasi. Ini pun menandai bahwa keluarga Rita menggantungkan kelangsungan hidupnya pada apa yang dilakukan oleh Rita, yaitu atlet olahraga.
Kemudian, penonton akan semakin merasakan maksud dan tujuan kenapa Marta Prus menyuguhkan sosok personal Rita menjadi intisari dalam karyanya. Hal ini bisa kita lihat ketika dialog antara Rita dan Ayahnya yang dirawat di ruang khusus karena sakit. Dan situasi ini menjadikan motivasi Rita semakin besar untuk menjadi juara.
Komitmen untuk membantu keluarga (sang Ayah) diberikan dengan berlatih dan berlatih sehingga pada akhirnya menjuarai kejuaran Eropa dan Olimpiade. Dialog antar mereka yaitu you are lying down for me, and I am training for you (Ayah berbaring buat saya, dan saya berlatih buat Ayah).
Film dengan latar olahraga ini tidak akan membawa penonton pada pengalaman yang pahit layaknya menonton film dokumenter lain. Istilah yang biasa dipakai oleh para pengamat film atas pengalamaan ini ialah pengalaman destruktif, sebuah kondisi yang mengganggu penonton, baik secara etis maupun psikis.
Perumpamaan dalam menggambarkan kondisi ini bisa ditemukan pada film dokumenter yang mengangkat isu pembunuhan, rasisme, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pengalaman pahit bisa dirasakan pada saat menonton film dokumenter karya Joshua Oppenheimer dan Christine Cynn, the Act of Killing (2012), sebuah film kesaksian para pelaku jagal pada peristiwa 1965-1966.
Sekali lagi, Marta Prus dalam filmnya hanya berusaha memperlihatkan bahwa Rita adalah manusia normal pada umumnya. Ia bisa merasakan kelelahan setelah latihan, bertenaga pada saat pertandingan, dan depresi sekaligus ketika kalah perlombaan. Penonton bisa memastikan kondisi dan situasi ini pada saat Amina Zaripova (Asisten pelatih) menanyakan kondisi fisik Rita sebelum mengikuti kejuaraan dunia senam ritmik pertama kali di Stuttgart, Jerman.