Pembenahan Peradilan Harus Menyeluruh dan Berkesinambungan

“Terungkapnya kasus yang melibatkan Sekretaris MA Nurhadi seharusnya menjadi momentum bagi lembaga peradilan”

0
304
Ilustrasi pengadilan dengan gambar palu dan timbangan. (Istimewa)

Tribute Indonesia – Pembenahan lembaga penegak hukum harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan untuk mengurangi, menghapus atau menghilangkan mafia yang masih bercongkol saat ini di lembaga peradilan.

Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (Lasina), Tohadi, mengungkapkan bahwa mafia peradilan itu tentunya melibatkan hakim, panitera, jurus sita, termasuk advokat serta jaksa untuk mengurus kasus tindak pidana.

“Terungkapnya kasus yang melibatkan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi seharusnya menjadi momentum bagi lembaga peradilan, termasuk MA untuk membenahi diri, agar mafia peradilan bisa dikurangi atau dihapus di lembaga peradilan,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Sayangnya, terungkapnya kasus mafia peradilan yang melibatkan Nurhadi itu tidak dijadikan momentum untuk membenahi lembaga peradilan. Bahkan, mafia peradilan itu diduga masih bermain hingga saat ini.

Contoh kasus terbaru adalah putusan MA yang menolak permohonan kasasi yang diajukan PT Sumur Rejeki terhadap PT Citra Mitra Habitat (PT CMH). Kedua perusahaan mendirikan sebuah perusahaan Bersama yang diberi nama PT Citra Swadaya Raya.

Diduga terjadi praktik penyimpangan formil, materill dan penyimpangan kode etik dan perilaku hakim yang dilakukan oleh majelis hakim pemeriksa perkara permohonan konsinyasi Nomor: 420/Pdt.P/2019/PN.Jkt, Pst.jo Nomor: 3305K/PDT/2020. 

Perkara Nomor: 420/Pdt.P/2019/PN. Jkt.Pst itu adalah permohonan konsinyasi saham. Tapi anehnya, majelis hakim perkara Nomor 3305K/PDT/2020 justru menyebutkan dan membuat pertimbangan dengan mendasarkan pada gugatan penggugat. Padahal tidak pernah ada gugatan dan penggugat  dalam perkara No 420 tersebut.

Amar suatu permohonan adalah menetapkan, namun majelis hakim perkara Nomor 3305K justru membuat amar dengan mengadili. Suatu permohonan seharusnya bersifat Declarator, namun majelis hakim perkara perdata permohonan konsinyasi Nomor 420 jo Nomor 3305K justru bersifat Condemnator dengan salah satu amarnya yang membatalkan suatu perjanjian.

Saham yang telah disetorkan PT Sumur Rejeki kepada PT CMH berupa penyertaan modal tanah senilai Rp394 Miliar, hanya dikonsinyasikan senilai Rp441 Juta. Artinya tanah senilai Rp394 Miliar itu dibayar lunas dengan harga Rp441 Juta.

Yang harus diingat oleh penegak hukum adalah bahwa konsinyasi hanya dapat dilakukan dalam hubungan hutang-piutang. PT Sumur Rejeki tidak pernah berhutang pada PT CMH. Saham PT Sumur Rejeki yang sudah disetor penuh tidak bisa dikonsinyasikan. Apabila saham bisa dikonsiyasikan maka akan rusaklah tatanan ekonomi di Indonesia.

Dalam hukum acara perdata, pembatalan suatu perjanjian tidak bisa dilakukan melalui permohonan konsinyasi, tetapi harus melalui gugatan pembatalan. Tapi dalam kasus ini permohonan konsinyasi bisa membatalkan perjanjian antar pemegang saham. 

“Di sinilah munculnya dugaan adanya permainan dalam putusan itu,” ujar Tohadi.

Selain itu, sampai saat ini belum ada uang konsinyasi yang ditransfer ke rekening pengadilan negeri oleh pemohon, tetapi amar penetapan sudah dinyatakan sah peletakan penitipan uang konsinyasi.

“Kasus-kasus seperti di atas harus menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Ketua Mahkamah Agung. Di saat kepercayaan publik berada di titik nadir terhadap aparat penegak hukum, MA seharusnya menjadi yang terdepan untuk mengembalikan kepercayaan publik,” kata Tohadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here